BUTET MANURUNG SOSOK KARTINI MASA KINI
Siapakah Butet Manurung?
Saur Marlina Manurung atau akrab disebut Butet Manurung, merupakan seorang aktivis soaial dan antropolog Indonesia.
Beliau merupakan perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat adat di Indonesia.
Pendidikan Butet Manurung
Butet Manurung meraih gelar S1 Antropologi dan Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaran Bandung, serta S2 di bidang
Antropologi Terapan dan Pembangunan Partisipatif di Australian National University, Canberra. Selain itu, Butet juga
pernah mengikuti kursus Global Leadership and Public Policy di Harvard Kennedy School, Universitas Harvard, USA (2012).
Sepak Terjang Butet Manurung
Butet mulai mengembangkan program pendidikan bagi Orang Rimba yang tinggal di hutan Bukit Duabelas, Jambi saat ia
bergabung di sebuah proyek konservasi yang dikelola oleh LSM Warsi tahun 1999. Pengalaman ini mendorong ia dan
beberapa rekannya di sana untuk mendirikan Sokola Institute pada tahun 2003 dan mengembangkan kurikulum pendidikan
yang kontekstual.
Perjuangan
Butet banyak mengalami penolakan dalam usahanya membawa literasi kepada Orang Rimba. Ia bahkan harus melakukannya
secara sembunyi-sembunyi dengan resiko dikeluarkan dari komunitas. Namun dia tetap bertahan. Tekadnya untuk mengajar
anak-anak Orang Rimba membaca dan menulis semakin kuat seiring kemajuan belajar murid-muridnya. Seorang murid, yang
merupakan putra kepala desa Orang Rimba, mampu menunjukkan ketidakakuratan kontrak tertulis terkait sengketa wilayah.
Kepala desa kemudian dapat menuntut perubahan dalam dokumen yang melindungi kepentingan desa. Butet pun akhirnya
mendapat dukungan.
Kebangkitan
Pada tahun 2003, mereka mendirikan sebuah organisasi non-pemerintah bernama SOKOLA, telah berganti nama menjadi
Sokola Institute, yang berfokus pada integrasi nilai-nilai dan perspektif lokal dalam pendekatan pengajarannya. Hingga hari ini,
SOKOLA telah memprakarsai program di sembilan provinsi berbeda di seluruh Indonesia, membawa literasi ke lebih dari
10.000 individu, baik anak-anak maupun orang dewasa di komunitas adat yang terisolasi.
BUTET MANURUNG SOSOK KARTINI MASA KINI
Siapakah Butet Manurung?
Saur Marlina Manurung atau akrab disebut Butet Manurung, merupakan seorang aktivis soaial dan antropolog Indonesia.
Beliau merupakan perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat adat di Indonesia.
Pendidikan Butet Manurung
Butet Manurung meraih gelar S1 Antropologi dan Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaran Bandung, serta S2 di bidang
Antropologi Terapan dan Pembangunan Partisipatif di Australian National University, Canberra. Selain itu, Butet juga
pernah mengikuti kursus Global Leadership and Public Policy di Harvard Kennedy School, Universitas Harvard, USA (2012).
Sepak Terjang Butet Manurung
Butet mulai mengembangkan program pendidikan bagi Orang Rimba yang tinggal di hutan Bukit Duabelas, Jambi saat ia
bergabung di sebuah proyek konservasi yang dikelola oleh LSM Warsi tahun 1999. Pengalaman ini mendorong ia dan
beberapa rekannya di sana untuk mendirikan Sokola Institute pada tahun 2003 dan mengembangkan kurikulum pendidikan
yang kontekstual.
Perjuangan
Butet banyak mengalami penolakan dalam usahanya membawa literasi kepada Orang Rimba. Ia bahkan harus melakukannya
secara sembunyi-sembunyi dengan resiko dikeluarkan dari komunitas. Namun dia tetap bertahan. Tekadnya untuk mengajar
anak-anak Orang Rimba membaca dan menulis semakin kuat seiring kemajuan belajar murid-muridnya. Seorang murid, yang
merupakan putra kepala desa Orang Rimba, mampu menunjukkan ketidakakuratan kontrak tertulis terkait sengketa wilayah.
Kepala desa kemudian dapat menuntut perubahan dalam dokumen yang melindungi kepentingan desa. Butet pun akhirnya
mendapat dukungan.
Kebangkitan
Pada tahun 2003, mereka mendirikan sebuah organisasi non-pemerintah bernama SOKOLA, telah berganti nama menjadi
Sokola Institute, yang berfokus pada integrasi nilai-nilai dan perspektif lokal dalam pendekatan pengajarannya. Hingga hari ini,
SOKOLA telah memprakarsai program di sembilan provinsi berbeda di seluruh Indonesia, membawa literasi ke lebih dari
10.000 individu, baik anak-anak maupun orang dewasa di komunitas adat yang terisolasi.